Visualisasi karakter Rihanna Sambadewa
Rian Magek Jobang
Waktu demi waktu berlalu. Pemberitaan tentang palasik kudang makin menjadi-jadi. Di perkirakan ada 468 bayi yang menjadi korban. 300 yang bertahan dan di rawat di rumah sakit, dan 68 ada yang tewas. Banyak ibu dari para korban yang menangis dengan wajah meratapi anak-anak mereka, bahkan ada yang sudah menanti sang buah hati selama bertahun-tahun dengan berbagai macam teknik pengobatan yang di lalui, terpaksa ia harus merelakannya.
Kondisi bayi yang sudah tidak bernyawa, di temukan pada bagian kepala sudah sedikit gepeng bahkan bentuk perut mereka ada yang seperti surut ke dalam.
Sementara, ada dua orang muncul di depan sebuah gerbang rumah sakit, melihat beberapa tim medis membawa beberapa bayi lainnya. Bahkan ada yang menangis tidak karuan, akibat efek yang di timbulkan oleh makhluk kepala terbang yang membawa sebagian korbannya. Dama dan Monra. Sehabis mereka jalan-jalan rindu akan kampung halaman, menyaksikannya dengan wajah yang amat iba.
2 orang manusia jadi-jadian itu masuk ke dalam rumah sakit tersebut. Kali ini, ia harus datang membantu untuk menyembuhkan para bayi yang kondisinya sudah parah. Dama dan Monra melihat sekelilingnya. Para bayi menangis sekencang-kencangnya sambil menghentak-hentakan kakinya. Kuat sekali dengan teriakan yang tidak wajar.
Dama melihat ada seorang ibu yang panik ketika menggendong bayinya yang tidak berhenti menangis. Ia kemudian datang mendekati sang ibu.
"Anak ibu kenapa?"
"Anak saya terkena serangan palasik kuduang pak"
"Boleh saya gendong bayinya?"
"Boleh"
Dama menggendong bayi tersebut dengan penuh kasih sayang, layaknya seorang ayah yang sedang menimang anaknya. Ia memeriksa bagian mana titik paling parah, yang di alami oleh bayi tersebut. Rupanya, ia melihat ada bagian perut yang kempes tapi dengan kondisi yang tidak wajar. Dama meletakan tangannya, pada bagian tersebut sambil mengelus-elus perutnya dengan mengitari sebanyak tiga kali, di sinilah ia melakukan teknik penyembuhan secara diam-diam seperti dengan cara menggendong bayi biasa, agar tidak ketahuan bahwa ia adalah sosok cindaku yang paling di musuhi oleh ratu palasik. Setelah itu, bayi itu berhenti menangis dan mendadak tersenyum.
Senyum yang mangamek khas anak bayi. Mangamek itu artinya tersenyum imut dengan gaya lucu dan menggemaskan.
"Loh, kok dia berhenti menangis?" ujar sang ibu dari bayi tersebut heran. Dama menyerahkannya kepada ibu kandung dari bayi tersebut.
"Coba lihat bagian perutnya"
"Ia"
Dama menyuruh sang ibu, untuk memeriksa kondisi bayinya. Benar, kondisi anaknya sekarang terasa sangat baik. Bahkan, bisa tersenyum dengan lebar, seperti bayi polos pada umumnya.
"Coba ibu periksa lagi ke dokter. Mana tau sudah membaik"
"Baik"
Ia memeriksa kondisi pasien lain. Namun ketika hendak melakukannya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Rupanya yang menelvon adalah abangnya.
"A? Iyo Jo"
AJo. Dia memanggil abangnya dengan sebutan itu. Dalam Minangkabau, ada banyak istilah yang digunakan untuk penyebutan kakak bagi orang Minang. Kalau yang laki-laki ada yang memanggil uda, ajo, kuniang, uniang dan sebagainya. Kalau yang perempuan lebih banyak ada uni, taci, tete, teta, aci, kakak, incim, dan lain sebagainya. Dama memanggil kakak laki-lakinya dengan sebutan ajo.
"Ang di ma kini? (kamu sekarang dimana?)"
"Awak dirumah sakik jo ba'a jo? (Saya lagi dirumah sakit, kenapa bang?)"
"Sanji hari malala joi( Udah sore masih keluyuruan)"
"Yo rencana nyo awak nio baliek ma, tapi ndak bisa do jo, siko banyak anak bayi kanai palasik kuduang aa( Ya, rencananya saya mau balik. Tapi tidak bisa, di sini banyak anak bayi kena Pelasit Kudung)"
"Aa kalau lah salasai capek baliak dih( Kalau udah selesai, cepat balik)"
"Jadih ! Aman tu( Jadi, aman tu)"
Setelah itu ia mematikan ponselnya. Teriakan tangisan dari para bayi, menyebabkan ia harus membagi kinerjanya dengan Monra. Perut mereka, rata-rata sudah hampir kempes gara-gara kejadian itu. Untung saja, Monra memberitahu kejadian di awal.
Saat ia sedang mengobati pasien, tiba-tiba merasakan hawa yang tidak mengenakkan. Atmosfernya sangat kuat, sehingga ia mau tak mau harus menoleh ke belakang, sambil menyembuthkan anak bayi lainnya.
Firasatnya semakin tidak tenang mana kala, ia tidak sengaja melihat seekor kucing belang tiga datang memasuki area rumah sakit. Ia melihat kepalanya berputar ke sana kemari, seakan ia menyaksikan dengan amat serius. Kucing tanpa telingat itu seakan mencoba memahami situasi yang ada. Anehnya, ia berjalan dengan kaki yang pincang.
Pengunjung rumah sakit ini macam-macam. Bahkan binatang boleh mengunjungi rumah sakit tersebut. Diam-diam, ketika mengobati anak bayi seperti mengelus bayi biasa, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Kekuatanya juga sangat kuat, sehingga Dama merasa tidak tenang. Gerak-gerik Dama, dilihat oleh Monra.
"Kau kenapa Dama?"
"Gak tau, firasat ku ada sesuatu yang tidak enak"
"Apa yang tidak enak?"
"Energinya sangat kuat di sini"
Tapi entah kenapa disaat yang bersamaan, ada sesuatu yang amat kuat juga hadir di sini, tapi dia tidak membawa pengaruh jahat. Karena ia penasaran, Dama meminta Monra untuk membantunya, menyembuhkan para Bayi yang terkena palasik kuduang. Ia ingin mencoba melangkah ke depan. Ia merasakan akan ada sesuatu hal yang buruk akan terjadi.
Kucing tanpa telinga itu memasuki area rumah sakit, orang-orang sangat ramai di sana. Ada ratusan bayi yang di rawat. Sementara diam-diam ada seekor kucing betina berwarna hitam, dengan mata kuning keemasan juga memasuki area rumah sakit, hanya saja ia muncul entah darimana.
Dama yang sedang menyembuhkan beberapa bayi seketika berhenti dan memastikan apalagi yang akan terjadi.
Kemarin, ribuan palasik kuduang datang menutupi indahnya bulan purnama. Sekarang, ia melihat sesuatu gelagat yang aneh. Pertama ia melihat kucing tanpa telinga, masuk dengan kondisi kaki yang pincang. Kucing belang tiga itu serasa tidak jinak baginya. Ia melihat, kucing tersebut sedang mendekati salah satu pasien yang sedang ditangani oleh dokter. Saat itu dokter sedang melakukan penyuntikan, kepada salah satu bayi perempuan yang perutnya sudah mengempes. Bayi itu menagis keras, bahkan dia mengeluarkan aroma seperti telur busuk. Kucing cacat itu mendekatinya, dan membuka mulutnya, seakan ia ingin memasukan suatu energi yang mungkin bisa merenggut bayi itu.
Namun, ada kucing lain datang dengan melompat dengan menumbangkan kucing itu. Kucing itu terjatuh, kemudian bangun meskipun dalam kondisi pincang. Kucing hitam melawan kucing cacat saling mengeong dengan ganas, selayaknya kucing biasa yang ingin berduel tuntas.
"WAAAAAWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWW" Begitulah bunyinya ketika mereka sedang mengamuk. Sahut-sahutan seakan mereka berbicara memakai bahas mereka sendiri.
"WAWWWWWW!!!!"
Mulailah mereka berkelahi. Pertengkaran mereka dilihat oleh seluruh pasien. Bahkan beberapa benda jatuh terpelanting dan pecah. Beberapa jarum suntik, serta yang lainnya menggelinding ke bawah. Dama yang melihat kekacauan ini, berusaha untuk menghentikan mereka berdua, namun dia sendiri terpelanting dan terpental sehingga, ketika seorang dokter yang sedang membawa ranjang baru terjatuh, lantaran Dama seperti terlempar, hingga ranjang itu jatuh terbalik. Beberapa orang membawa anak-anak mereka ketempat yang aman. Dan sebagian besar, juga ada yang berusaha menangkap, tapi lari mereka berdua kencang sekali. Anehnya, kucing pincang itu kuat meladeni kucing hitam itu.
Sementara Dama merasakan sakit dipinggang. Monra ingin menolong, akan tetapi ia melihat banyak bayi yang harus dia sembuhkan. Keributan terjadi Orang-orang membantu Dama berdiri. Sementara kucing itu sibuk berkelahi, dan mereka sampai berduel di atas meja kasir, yang menyebabkan komputer dan material lainnya jatuh porak-poranda. Lalu kucing itu mengigit kuduk kucing cacat itu dari arah berlawanan dan melemparkan kucing itu dengan giginya, hingga kucing itu tidak berdaya. Beberapa orang saat menyaksikan ini ada yang kasihan tapi.
"Jangan tolong dia!" Seseorang berbicara. Kucing hitam itu berjalan dengan anggun dan kemudian duduk dengan sopan, seperti kucing yang terlatih.
"Jangan tolong dia??!!"
Suara sumber suara itu berasal dari kucing hitam tersebut, yang menatap mereka semua.
"Jan pernah menolong paja kalera ko ! ( Jangan pernah menolong kucing sialan ini)"
"Diam kau Mayang! AKu di sini sedang menolong anak bayi yang sedang sakit" Ujar kucing cacat itu. Mereka berdua berbicara layaknya manusia.
"Kecek kau, den picayo ha? ( Kata kau, aku percaya?)"
"Kucing bisa ngomong?" Tanya mereka satu sama lain. Dama kemudian berdiri sambil menahan sakit di pinggang. Dia mendekati kucing hitam itu.
"Kau ini kurang ajar ya? Berani-beraninya kau datang kemari." Ujar Kucing hitam yang di sinyalir namanya adalah Mayang.
"Selagi banyak makanan di sini, aku tak akan kehilangan kesempatan!"
Mereka yang menyaksikan bingung, dan ada yang menampar wajahnya sendiri sampai pingsan.
"Apa yang terjadi?"
"Dama! Dia ini palasik kuduang dalam model lain."
"Aaaa???"
Mereka semua seperti terjebak dalam drama fantasi.
"Oh, jadi kau nan mambunuah adiak ngenek den? Dasar kuciang kanciang!!( Oh, jadi kau yang membunuh adik kecil ku? Dasar kucing sialan!!)" Ketika seseorang mencoba menyerang kucing itu, tapi kucing cacat itu marah, dan ingin memberikan serangan balik tapi di tahan oleh Dama. Dengan kekuatannya yang terpancar dari telapak tangannya, ia kemudian dia mengambil kucing itu dan ia berada di pelukannya. Kucing tanpa telinga itu bernama Cindai Malam. Dia adalah palasik dari ranah melayu. Dengan gampangnya, didepan semua orang, ia memelintir kepala kucing itu, sehingga kepalanya terpisah dari badan. Orang-orang memandangnya bergidik ngeri. Tapi, setelah itu kucing itu musnah seperti abu yang dalam perapian, mengeluarkan asap hitam dan menghilang begitu saja.
Orang-orang yang melihat, memegang leher mereka masing-masing. Di sini, Dama menunjukan identitasnya dengan menunjukan sisi mata harimaunya.
"Siapa anda?"
"Saya, Rudi Pasadama. Cindaku dari gunung Kerinci"
Mereka kemudian kaget. Bagaimana Cindaku bisa tiba di ranah Minang? Bagaimana dengan gunung Kerinci nantinya. Dama membalikan badannya dengan kondisi seperti semula. Orang-orang di rumah sakit kemudian memberikan penghormatan kepada Dama. Kalau dia sudah tiba di sini, berarti dia sudah sama dengan inyiak.
"Saya bukan penjaga gunung Singgalang. Saya hanya adiknya saja. Dan jangan seperti ini. Kalau mau memberikan penghormatan, hanya sekedar saja. Seperti bersalaman sudah cukup" Ujarnya.
"Terimakasih nyiak!" Ujar mereka dengan senyuman.
"Semua kerusakan yang terjadi, saya akan menanggungnya. Saya punya duit. Beserta pengobatan kalian"
Sebagai penjaga gunung Kerinci, dia harus bersikap ramah dan baik hati. Bukankah itu tugas makhluk alam semesta di dunia ini?
___________________________________________________________________________________
Malam semakin larut, Magek kini kemudian bersantai-santai di hotel bergaya bangunan tua khas Eropa, dengan ratusan foto klasik pada masa penjajahan Belanda dimasa itu ia mencari-cari informasi tentang Aulia Dihelga Chaniago. Ia mencari dengan ponsel tabletnya di ruangan khusus di mana terpampang foto stasiun kereta api Lubuk Alung pada tahun 1938 di mana di sampingnya ada kereta kayu yang dulu bahan bakarnya adalah batu bara.
Di sana, juga ada foto semacam tempat orang akan di hukum mati. Dulu, ada seorang pemuda yang terpaksa hidupnya berakhir, akibat ulahnya sendiri. Dia membunuh saudara perempuannya, bernama Siti Baheram. Bujang Juki, di mana dia terkenal sebagai seorang penjahat yang melegenda.
Ruangan terlihat seperti kantor imigrasi Belanda . Setelah Indonesia merdeka, dia membeli tempat ini untuk dijadikan tempat tinggal barunya. Gedung ini merupakan hadiah dari siluman lain yang pernah singgah ke sini. Ini adalah hadiah dari Yamata No Orochi. Ini adalah singgah sananya yang sekarang, dimana jika ada masalah di dalam dunia paralel, inilah pusat imigrasinya.
Beberapa saat kemudian, ada seseorang yang mengetuk pintu ruangan itu dari luar. Magek langsung berdiri dan membukanya. Rupanya, itu adalah Sambadewa. Dia membawa secarik kertas foto dan menunjukannya kepadanya. Foto seorang wanita cantik dengan rambut lurus, yang bisa diperkirakan berusia 21 tahun.
"Ini siapa?"
"Aulia Dihelga Chaniago?"
Ia menatapnya dengan saksama, kalau diperhatikan dia memang mirip Zainal. Tapi baginya tetap cantikan Sambadewa, yang indahnya tiada duanya.
"Abangnya menghilang di gunung Singgalang, seperti yang saya ceritakan. "
"Saya sepertinya pernah melihat orang ini. Dari wajahnya, dia tidak pernah melakukan pantangan apapun"
"Dia pecinta alam. Beberapa pohon yang tumbuh, dia menanam"
"Dia memang bekerja sebagai wartawan. Tapi dia juga sebagai narator juga, khusus menceritakan pengalaman kisah dunia horor bagi para pendaki gunung, atau yang sedang melakukan perjalanan panjang"
Komentar
Posting Komentar