Mentri pendidikan

 


Konfrensi pers, sebentar lagi akan di buka. Mentri Pendidikan sebenarnya tidak siap dengan acara hari ini. Dia kalang kabut, pikirannya kacau. Jiwanya tidak tenang. Seharusnya, pada saat pelucuran kurikulum dia harusnya fokus pada satu kasus. Namun presiden mendesaknya.

Soertanto namanya. Dengan blezzer abu-abu yang ia kenakan, mencoba tampil dengan prima, ia keluar dengan senyuman yang melebar. Pria paruh baya itu menyambut media dengan ramah. Dia menghela nafasnya untuk menenangkan diri. Padahal sebenarnya peracanaan kurikulum belum bisa di-sahkan  pada hari ini.

Sebab, ia tengah sibuk mengurus kasus yang baru saja ia terima beberapa bulan terakhir. Tapi pemerintah mendesak disaat itu lantaran sistem Pendidikan di negara ini sudah tertinggal 100 tahun. Mau tak mau, dia harus membagi waktunya untuk itu.

Dia kemudian berjalan ke arah podium, dengan mengeluarkan secarik kertas. Dihadapannya terdapat ratusan pejabat yang akan mendengar hasilnya. Sejujurnya, ini merupakan tindakan yang tergesa-gesa. Pemerintah meminta kalau bisa dikerjakan secepatnya. Padahal ada yang lebih penting daripada pergantian kurikulum.

“Assalamualaikum warahmatullahi Wabarakatu” dia membaca salam pembuka didepan para wartawan. Soertanto membuka secarik kertas yang dia bawa.

“Mengenai hasil keputusan pergantian kurikulum, bahwasannya akan ada sistem baru, di mana para siswa akan di arahkan ke minat masing-masing. Mata pelajaran pokok tetap akan diterapkan, namun kita akan mengadopsi beberapa sistem yang ada diluar negeri seperti tadi, di mana maksud saya adalah ingin mencari potensi dalam setiap siswa. Nanti, ketika potensi lain itu tercipta setiap siswa harus membentuk sebuah club dalam mengembangkan kemampuan mereka dalam suatu minat. Agar, ketika kita mengikuti ajang kompetisi dari setiap kemampuan siswa, kita tidak perlu bersusah payah lagi mencari peserta. Selain itu, prestasi non akademik akan menjadi penunjang untuk masuk SMA atau SMK pilihan berbasis RSBI. Jika ada sekolah yang menentang akan hal ini, semua guru yang bekerja disana akan mendapatkan sanksi. Saya tidak mau lagi ada calon murid tidak bisa masuk ke sekolah pilihan mereka lantaran nilai akademis mereka menurun. Saya tidak mau lagi mendengar, ada lagi sekolah yang membuat salah seorang murid tidak naik kelas hanya karena ikut cerdas cermat. Saya sangat benci itu. Itu adalah tindakan yang tidak adil terhadap anak bangsa. Untuk kurikulum ini, saya ingin menyamaratakan kemampuan skill anak-anak dibidang yang mereka sukai. Hari ini saya putuskan, bahwa nilai bukanlah segalanya untuk saat ini. Selain itu dalam mata pelajaran bahasa Inggris mereka harus mengajarkan tata bahasa TOEFL mulai dari SMP sam SMA” ia kemudian mengetuk palu sebanyak 3 kali.

Lalu sidang keputusan ditutup. Mentri Pendidikan turun dari podium dengan wajah risaunya. Jiwanya benar-benar tidak tenang, namun ia harus menyembunyikannnya. Wartawan menghadangnya seketika keputusan itu sudah bulat.Pertanyaan demi pertanyaan harus dia jawab. Sebenarnya ia melakukan itu lantaran ia kasihan dengan potensi anak bangsa yang terbuang sia-sia hanya karena ia melihat sendiri guru-guru banyak yang bertindak egois. Yang mereka ke depankan adalah nilai akademis, dan uang. Serta  sistem TOEFL akan ditetapkan.  Habis itu dia pergi ke tempat yang sepi bersama dengan ajudannya.

Soertanto menghadapkan wajahnya kepada anak buah yang ia percaya.

“Akbar”

“Ia pak”

“Mana dokumen yang saya suruh cari?”

“Ini pak”

Akbar namanya, Dia memberikan tangkapan foto yang ia dapatkan ketika bertugas menjadi penjual batagor disalah satu sekolah yang sedang bermasalah. Dia menyamar jadi penjual batagor karena ia berbakat dalam membuat bakso tahu goreng. Semakin lama, korbannya semakin banyak. Dadanya kembang-kempis melihat ini.

“Sekolah ini, memang harus dicari akar permasalahannya. Ini sudah parah ini. Lama-lama sistem Pendidikan bisa tercoreng karena kelakuan mereka. Saya tidak membenarkan pembulian”

“Benar pak. Jadi apa yang akan bapak lakukan”

“Besok saya harus ke kantor polisi. Saya sudah mengajukan kamu dan satu orang untuk menjadi mata-mata. Kamu tetap menjadi penjual batagor. Sambil-sambilan kamu rekam pembicaraan mereka”

“Baik pak”

“Tapi kamu punya 2 tugas, Yang pertama kamu tetap mereka dengan kameran pena, yang saya kasih kemarin. Yang kedua, kamu harus menjaga orang yang akan saya utus ke sana”

“Menjaga orang yang anda utus?”

“Saya ingin mengganti kepala sekolah dengan yang baru untuk sementara. Tugas kamu adalah  bekerja sama  dengan orang itu”

“Memang kepala sekolahnya kemana pak?”

“Koma dirumah sakit”

“Baik pak. Saya akan menjaga orang itu”

“Tapi syaratnya kamu jangan kasih tau identitas kamu yang asli di awal. Biarkan orang yang saya utus nanti cari tahu sendiri tentang kamu. Nanti rencananya bakal kacau. Kecuali dia tahu belakangan, baru kamu kasih tau jati diri kamu”

“Tenang pak. Saya akan bertindak seperti orang biasa.”

“Mulai besok kamu harus kerja menyamar lagi”

“Oke”

Pengumuman pergantian sistem Pendidikan yang baru telah mencapai kesepakatan yang mutlak. Sarlata menontonnya lewat platform streaming youtube. Sungguh ia sangat iri dengan kurikulum yang baru, dimana nilai bukanlah segalanya. Zaman ia sekolah dulu, semua mata pelajaran harus dia kuasai. Padahal, kemampuan tiap anak berbeda-beda.

“Kenapa kurikulum seperti ini tidak ada pada masaku?”

“kenapa Sar?”

“Ini, coba lihat. Sistem Pendidikan sekarang lebih mengutamakan potensi disetiap siswa lewat minat dan bakat”

“Wow, enak banget mereka ya. Dulu zaman kita sekolah yang di agung-agungkan itu orang yang hebat matematika. Kalau udah hebat  di bidang itu beuh…! Langsung dipuja bak dewa. Dianggap pintar dalam segala hal”

“Kayanya kamu dendam banget deh sama orang yang pintar matematika”

“Jangan kamu tanya. Saya dendam banget. Saya malahan waktu itu di jauhin karena saya gak bisa menguasai mata pelajaran itu. Paling mirisnya lagi tu waktu saya SMA, saya gambar Inuyasa sama Kagome di papan tulis. Di hapus katanya habisin spidol. Foto dulu kek, apa kek” Banu menceritakan masalalu nya dengan nada emosi. Memang benar, jika ada yang lebih pintar matematika, langsung dianggap orang paling jenius sejagat raya. Dia di pandang pintar, dan berhak mendapatkan gelar juara kelas. Atau the king from the king. Coba kalau anak seni, pasti dianggap orang yang jualan kacang goreng. Padahal seni dan matematika adalah saudara kembar yang tak terpisahkan.

“Seharusnya anak-anak yang menguasai bidang lain juga mendapatkan peringkat kelas bukan?”

“Saya tidak tau masalah itu”

“Seharusnya murid-murid diluar sana sekalian, juga diajarkan berpikir secara kritis. Bukan selalu berpatokan pada buku pelajaran, yang notabenenya juga berasal dari pemikiran orang lain juga. Kita baca buku itu, kita temukan kejanggalannya, kit acari sumber yang relevan.”

“Benar. Seharusnya itu yang diterapkan. “

“Saya suka baca buku Sar. Saya waktu kena dispensasi sama guru, disuruh berdiri angkat kaki satu lantaran saya menjawab tidak sesuai dengan isi buku”

“Untung sekolah saya beda dengan kamu. Sekolah saya malah disuruh mencari refrensi lain. Yah terserah darimana, yang penting dia mampu menjabarkan dengan analisa yang tinggi”

Perbincangan mereka terpaksa berhenti karena ada salah satu polisi senior yang menyerahkan sebuah berkas laporan kepada mereka. Wajahnya memang terkesan tidak ikhlas menyerahkan berkas-berkas itu. Ia tersenyum seolah-olah ingin mengejek, bagaimana dua orang ini bisa memiliki ruangan yang dekat dengan kepala kepolisian? Sementara ia sudah bekerja bertahun-tahun, tidak pernah satu ruangan dengan atasan. Ia menatap dua orang ini dengan perasaan jengkel. Raut wajah orang ini telah terbaca oleh Sarlata. Sementara Banu, sibuk mengetik lantaran sudah bosan melihat wajah orang yang satu ini. Pria tersenyum ramah di depan mereka berdua. Bersikap sebagai selayaknya senior yang baik hati dan penuh perhatian kepada juniornya. Sayang, senyuman itu palsu dan tidak berarti apa-apa. Sarlata menatap orang ini seakan pria ini adalah orang yang pintar berakting. Dia tidak pantas menjadi seorang polisi.

“Apa itu pak?” Tanya Sarlata tanpa basa-basi. Ia mencoba berbicara sesantai mungkin tanpa menunjukan nada seolah-olah ia sedang mengkonfrontasi. Mukidi namanya. Dia adalah pria yang selalu menyindir orang yang lebih darinya. Semalam, dia menyindir Banu yang katanya sukses akibat tenaga orang dalam. Padahal Banu mengerjakan tugas rela mengorbankan segalanya. Ia hampir kehilangan nyawa-nya, lantaran dia ditembak di bagian lutut oleh salah satu anak buah mafia tanah kemarin. Makanya Banu jalannya sedikit pincang.

“Kalian memang pantas mendapatkan penghargaan,  sebab kalian itu terlalu rajin”

“Terlalu rajin?” Tanya Sarla mulai tidak senang.

“Hey Sarlata, saya tidak bermaksud menghina kamu”

“Saya juga tidak merasa terhina”

“Kadang kala Sarlata, kalau kita ingin berkerja keras kita perlu cari muka. Tapi kalian berhasil sih. Salute”

Sarlata menggeleng-gelengkan kepalanya. Apa yang dipikirkan oleh pria tua bangka ini. Pagi-pagi sudah mencari masalah.

“Saya penasaran, trik yang kalian gunakan dalam menjabat. Kalian itu jangan sok oke. Menerima kasus akhirnya kaki juga yang terkorban-kan” matanya mengarah kepada Banu.

“Anda tau tidak kenapa polisi sekarang banyak dihina masyarakat? Karena orang seperti anda masih kerja disini”

“Saya masih pantas kerja disini. Saya tidak pemalas, dan dibandingkan dengan kalian saya yang harusnya menerima kasus itu”

“Bahkan ujung-ujungnya anda tidak mampukan? Kenapa? Anda ingin jabatan saya? Silahkan ambil. Tapi saya tidak yakin apakah anda serius dalam mengembannya. Saya saja keberatan diberi amanah seperti ini”

“Jangan sombong anda”

“Orang yang memancing kesombongan orang lain itulah, orang yang benar-benar sombong”

Mukidi tidak bisa berkata apa-apa lagi. Pemuda yang menjadi atasannya berani menelanjangi seniornya. Tapi dia menahan amarahnya sebab dia harus menyerahkan laporan tersebut.

cukae, yeuteura!”

Mukidi pergi dengan wajah tersenyum. Tapi senyumnya itu penuh dengan teka-teki. Pria itu sudah menyulutkan api, tetap saja Mukidi tersenyum.

“Oh, baca itu baik-baik”

Tiba-tiba dia mendadak menjadi orang baik. Sarlata menggeleng-gelengkan kepala. Labil sekali, seperti para remaja yang baru pubertas

“Pak Mukidi itu dari kantor polisi lain yang pindah ke sini. Konon katanya kinerjanya tidak becus jadi dia di opor”

“Hmmm”

Dia membuka laporan yang diberikan oleh pak Mukidi. Ia membolak-baliknya dan lebih seram dari proposal yang diberikan oleh Attila.

“Kenapa?”

“Bro, ini laporannya lebih seram daripada Attila”

Banu dengan sigap berdiri melihat laporan yang dipegang oleh Sarlata. Dia ikut membolak-balikan laporan itu. Alangkah kagetnya ia. Rupanya, disekolahnya telah ada yang dibunuh oleh salah satu murid disekolah tersebut.

“Aduh, mengerikan juga rupanya” ujar Sarlata mengerutkan keningnya seraya ia geram dengan apa yang dilihatnya. Dia melihat tahunnya. Rupanya kejadiannya di awali tahun 2021.

“2021?”

“Berarti kasus ini sudah lama ternyata. Tapi, darimana pak Mukidi dapat semua data ini. Mencurigakan”

“Eh, dia sudah ditebak. Dia mengejek kita tapi dia kasih laporan sepenting ini”

“Mungkin dia sedang menyindir dirinya sendiri”

Mentri Pendidikan kemudian beranjak dari sana bersama dengan sekretarisnya. 2 orang pria dalam satu mobil berbelok ke arah yang ditunjukan oleh google map. Hari ini makin lama makin panas. Konsentrasinya saat ia berpidato tadi sebenarnya hampir buyar. Saat pertama kali dia diangkat jadi mentri, ia melihat sebuah tumpukan proposal yang sudah berdebu dibawah meja kerja mentri Pendidikan terdahulu. Ada sebanyak 20 proposal yang dikirimkan. Soertanto memeriksanya karena sampul depannya seperti baru dan tidak pernah tersentuh. Lembarannya masih runcing, dan sampul plastic hasil jilid masih menyatu dengan kertas. Karena biasanya, kalau seseorang mencetak di warnet fotocopy pasti pihak warnet fotocopy akan menjilidnya supaya rapi. Masih seakan baru dicetak. Namun, dia melihat pada sampul depannya tahun 2021. Soertanto kemudian duduk diatas sofa sambil menyilangkan kedua pahanya. Dia membaca sampul depannya atas nama Matsudaira Hikaru Arlana. Namanya perpaduan antara Jepang dan Indonesia. Halaman pertama, berisi kata pengantar yang penuh dengan kalimat permohonan. Beberapa halaman ia lalui, dan pada halaman pertama ia membuka bab 1 latarbelakang. Dia menuliskan berbagai macam alasan kenapa dia membuat proposal ini. Yang kedua, dia membuka materi tentang pembulian, yang ketiga adalah metode penelitian. Yang ke-4, hasil penelitian dengan menyelipkan gambar-gambar berupa barang bukti yang ia dapatkan dilapangan. Dia mengelus dada.

Lalu, ketika ia menutupnya kembali sebuah surat yang masih terbungkus rapi jatuh kebawah.

Dia membaca surat itu secara saksama. Seakan dia mau menangis membaca isi surat itu.

SAYA TIDAK MAU LAGI ADA MURID SAYA MENJADI KORBAN. DIBELAKANG HALAMAN SEKOLAH ITU ADALAH KORBAN PEMBULIAN KARENA SATU ORANG. MEREKA BELUM DIVISUM OLEH PIHAK POLISI. SAYA MERASA BERDOSA DENGAN MEREKA. DEMI MENEMBUS DOSA SAYA SEBAGAI SEORANG GURU,SAYA SELALU MENYIRAMI PEMAKAMAN MEREKA DENGAN AIR MAWAR. NAMUN, SEPERTINYA ITU BELUM BISA MENEMBUS SEMUA DOSA-DOSA SAYA. SAYA MEMOHON KEPADA PIHAK MENTRI PENDIDIKAN UNTUK SEGERA MENYELESAIKAN KASUS INI.

Kalimat itu membuat dia harus menuntaskan kasus ini sampai selesai. Dia yakin, beberapa orangtua juga berusaha untuk melaporkan kejadian ini. Jika para tersangkanya melakukan ini secara sembunyi-sembunyi, maka dia harus melakukannya dengan hal yang sama pula. Sebab tak masuk akal rasanya, penjahatnya belum muncul dipermukaan. Sudah dua tahun kasus ini harusnya selesai.

“Saya harus menyelesaikannya. “

Akbar melihat kesamping. Soertanto marah kepada dirinya sendiri

" Banya yang menganggap  remeh ini terutama guru dan para orangtua. Ia sering melihat ditelevisi anak-anak banyak yang tepar, bahkan korbannya disuruh kuat untuk menghadapi lawannya”

“Mental orang beda-beda pak. Saya sering menemukan itu diantara orangtua pembuli. Mereka menganggap remeh korban. Coba kalau perut mereka ditendang, pasti mereka bakal unduh ke media social, dan bakal memposisikan mereka sebagai korban teraniaya”

“Karena itulah saya ingin menuntaskan kasus ini”

Mereka sampai dikantor polisi.

Hikaru kembali ke sekolah. Rencananya ia ingin ke kantor mentri Pendidikan, namun ia urungkan, karena nanti hasilnya pasti sama saja. Lebih baik dia kembali, daripada sia-sia.

 Dia memarkirkan mobilnya dengan wajah datarnya. Lewat kaca kendaraan yang ia gunakan, dia melihat seorang anak berkacamata sedang memegang perut dengan posisi membungkuk. Hikaru melihat itu berhenti sejenak. Dia melihat remaja  awaknya terbatuk batuk kemudian muntah darah. Hikaru keluar dari mobil dalam keadaan masih menyala.

Remaja itu menutup mulutnya, sehingga tangannya ikut dilumuri darah.Dia terus mengeluarkannya, sehingga dia tepar tanpa sadar didepan gerbang sekolah.Hikaru datang untuk menyelamatkannya, dan meminta bantuan pertolongan kepada orang-orang disekitarnya. Remaja itu seperti kehilangan kesadaraannya.

“TOLONGGGGGGG!!!!” Ujar Hikaru panik. Ia berteriak sambil mencoba menyadarkan muridnya.

“Bagas! Ini ibu, kamu harus bertahan” Hikaru kemudian menangis. Darah itu terus keluar dari mulut seorang murid bernama Bagas. Darah itu tidak berhenti-henti malah terciprat keatas sehingga mengenai wajahnya. Hikaru menanggalkan baju lapisan luarnya yang berwarna hitam, kemudian menyobeknya dan menyumpal mulut Bagas dengan kain. Dia lalu mengikatnya, agar cairan merah itu tidak selalu keluar. Beberapa saat kemudian orang-orang datang menghampiri Hikaru. Dada remaja itu terasa sesak, hingga ia tidak sadarkan diri. Pandangannya gelap menerawang sampai ke angkasa. Hikaru panik saat Bagas muridnya pingsan dalam keadaan mulut tersumpal.

“Bagas!!!!!!”

“ Bawa dia masuk ke dalam mobil, kalau nunggu ambulance gak sempat ini”

Bagas digotong kedalam mobil. Satpam yang menjaga juga ikut membawanya. Bocah itu dibawa ke rumah sakit dalam kondisi yang sedang kritis. Ia segera pergi dengan di dampingi beberapa orang.

Kejadian ini disaksikan oleh beberapa siswa lain. Mereka adalah siswa laki-laki yang tidak suka dengan tindakan guru yang bernama Hikaru.

“Benar-benar gangguin banget tuh cewek” Ujar mereka mengutuk dalam hati.

Sandra kesal. Ia diberikan seputung rokok yang ingin dia hisap. Semua apa yang ingin dia rencanakan menjadi berantakan. Entah kenapa sehabis melakukan itu membuat dia merasa tidak menyesal? Diam-diam seseorang yang rambutnya di kucir datang melewatinya. Dia memiliki wajah tirus dan lengkungan bibir yang sangat indah. Orang inilah yang sebenarnya mencuri perhatian Sandra. Akan tetapi ia sadar bahwa ia masih jauh dari kata yang terbaik untuk cowok yang satu ini.  Sinaro namanya. Jantung gadis itu berdegup kencang bila laki-laki itu lewat. Ia sudah mencoba untuk mendapatkannya. Sebenarnya, cowok itu adalah tunangan Sandra sendiri.Tapi Sinaro tidak menyukainya, karena gadis itu bukan tipe idealnya.

Dalam tindakan yang keras, Sandra sangat berharap bahwa suatu saat ia bisa berkencan dengan Sinaro. Akan tetapi, itu jauh dari harapannya. Memperhatikannya saja, apalagi untuk memanggil namanya saja tidak pernah.

Ia merasa hampa dan sakit ketika dia harus menahan cinta bertepuk sebelah tangan.Dia berharap bisa menggandeng tangan Sinaro, karena sejak dulu ia menyukainya. Tapi, karena Sinaro telah mengatakan bahwa ia tidak tertarik pada gadis nakal sepertinya, dia hanya melakukan perjodohan lantaran terpaksa saja.

Amber melihat kelakuan sahabatnya yang selalu menatap Sinaro dari kejauhan. Bagianya, Sandra seperti tidak pernah melirik cowok lain selain remaja memiliki rambut macam Shikamaru Nara itu.

“Udahlah, lagian banyak cowok lain yang mau sama elu” Kata Amber dengan penuh senyuman seraya mendukung sahabatnya itu. Sandra mengisap rokok, dan menghembusnya ke udara.

Beberapa saat kemudian, ditengah ke asyikannya, seorang pria tampan berusia 18 tahun datang bersama dengan kawan se-ganknya membawa rombongan laki-laki yang sepaham dengan mereka. Dia sangat menyukai Sandra karena gadis ini cantiknya luar biasa. Ia mencoba tersenyum kepada Sandra. Akan tetapi tatapan gadis berponi dengan rambut yang panjang mengarah pada yang lain.

Anak laki-laki dengan rambut yang dikucir, dengan garis wajah bagaikan lukisan berhasil mencuri perhatian calon gadisnya.

“Apa dia terlalu baik buat lu? Kan ada gue disini. “ Ujar remaja laki-laki bernama Lidya.

“Eh tau gak San, tadi gue ngehajar Fadli.”

“Fadli?” Tanya Sandra dengan nada dingin. Mendengar itu Lidya heran. Biasanya Sandra sangat senang dengan kekerasan yang dia lakukan. Dia mencoba bercerita dengan begitu bangganya. Namun, tatapan gadis cantik berambut panjang ini tetaplah pada Sinaro. Membuat Lidya sedikit jengkel.

“Apa dia yang harus gua pukul?”

“Biar gua yang mukul” Kata Sandra dengan nada sinis.

“Apasih yang lu suka dari dia? Dia gak pernah merhatiin lu sama sekali!”

“Gak apa-apa” Ujar Sandra sambil menatap Lidya.

“Sekali lagi lu ngeliatin dia, gue bunuh lu” Kata Lidya mengancam.

“Lu hanya milik seorang. Gak boleh cowok lain jadi pacarlu”

Sandra diam saja dengan omongan Lidya. Dia mau marah, tapi sahabatnya untuk mengatakan jangan. Jika Lidya tau bahwasaanya Sinaro adalah tunagannya, mungkin dia akan berbalik membunuh pria yang dia suka. Bukan dirinya. Makanya, untuk pertama kalinya dia mencoba melindungi seseorang karena cinta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar