Sarlata
kemudian kembali ke kantornya dengan 2 orang kawan terdekatnya. Hari ini adalah
hari di mana mereka telah merayakan kemenangannya. Meskipun demikian,
kebahagiaan itu hanya bersifat sementara. Pasti kedepannya akan ada kasus yang
lebih rumit lagi. Waktu itu, Sarlata
menyelidiki kasus itu dengan berpura-pura menjadi penduduk setempat. Tapi orang
tidak tau dia, lantaran gaya rambutnya seperti karakter anime. Dan orang banyak menganggap dia, sebagai pria jamet.
Meskipun demikian, dia tetap digilai perempuan lantaran dia memiliki paras
yang rupawan, dengan senyum sekilas seperti mendiang Haruma Miura.
Di
dalam mobilnya terdapat kepala inspektur dan sekertaris polisi. Mereka
membicarakan banyak hal terkait dengan pelanggaran hukum. Serta mereka juga
berbagi pengalaman terkait kasus apa yang rasanya sulit untuk dipecahkan.
“Kasus
yang paling rumit menangani tentang pembulian sekolah” ujar seorang sekertaris
polisi namanya Banu.
“Kenapa
rumit? Bukankah sebagai seorang polisi seharusnya mereka patuh sama kita
begitu”
“Apanya
yang patuh. Bapak saja, kewalahan menghadapi mereka semua. Apalagi masih ingat
waktu razia café berkedok warnet. Di dalamnya terdapat anak muda masih sekolah.
Anehnya mereka mengelak. Lalu kemudian bapak pada saat ada operasi razia, tau
gak kamu? Minta STNK saja banyak alasannya. Paling parahnya, mereka menitipkan
motor mereka ke tukang kantin, atau ke rumah warga setempat, seakan mereka
memiliki motor itu”
“Memang
kenapa kasus pembulian disekolah sampai begitu rumit?”
“Begini
Sar, orang sering menganggap remeh kasus pembulian. Mereka menganggap bahwa itu
hal yang biasa di mana katanya dapat membantu perkembangan emosional anak”
“Kekonyolan
macam apa itu? Itu bisa menimbulkan sifat traumatis orang ke depannya”
“Itulah
makanya Sar. Bapak waktu itu gak sengaja ngeliat kumpulan remaja seakan
mengerumuni kawannya yang bisa dikatakan sebagai anak muda yang tampilannya
cupu. Bapak udah menerka kalau mereka ingin merundungi temannya. Tapi menangani
perundungan itu jauh lebih sulit di banding dengan memberantas narkoba. Karena
ada pihak terkait yang sengaja menutupinya” Ujar pak Budi pada kawannya Sarla.
Sarla
bingung dengan penjelasan mereka berdua.
“Maksudnya”
“Perundungan
kasusnya sering tertutupi karena adanya pengaruh besar dari salah satu orangtua mereka”
“Oooh”
“Aku
kemarin dapat kasus baru mengenai pembulian cuman aku tolak. Karena aku udah
berulang kali bertugas di sekolah yang sama, tapi pelakunya belum ketemu” ujar
Banu yang memberitahu ada kasus baru.
“Kasus
apaan?”
“Kemarin
ada anak SMA datang membawa semacam proposal gitu. Isi gambarnya, saya pengen
ngucap berulang kali. Bayangin, tiap wajahnya korban banyak memar bahkan ada
surat rekap patah tulang”
“Kenapa
kamu laporin aja itu ke mentri Pendidikan?” Kata pak Budi menyarankan.
“Belum
ada tanggapan pak. Saya sudah nelvon pak mentri”
Mereka
sudah sampai dikantor. Mobil yang mereka tumpangi masuk ke area parkiran. Para
polisi yang menyaksikannya memandang mereka dengan tatapan yang remeh. Semuanya
itu adalah polisi berkepala cepak. Setelah mobil berhenti, mereka semua keluar.
Para polisi saling berbisik satu sama lain, bahkan ada yang sambil makan
gorengan melihat mereka bertiga keluar. Sarla dan Banu adalah polisi pangkat
jendral, padahal kedua orang ini baru bekerja selama 5 tahun. Sementara orang
yang menatap sinis, rata-rata sudah lama mengabdi dikantor polisi. Tapi belum
ada kejelasan kenaikan pangkat.
Irinya
para laki-laki jauh lebih parah dengan perempuan. Bahkan kalau mereka sudah
benci, mereka berani bermain trik kotor.
“Kalian
jangan menatap mereka semua”
“Baik
pak”
Sarla
dan kawan-kawannya masuk ke dalam ruangan khusus. Orang-orang menatap mereka
bertiga tanpa ada rasa sportif bahwa, mereka ikut bangga kawannya dapat
menyelesaikan sebuah kasus. Biasa, di dalam dunia kerja bakal ada orang yang
begini, saling bisik-bisik tertangga satu sama lain. Merasa paling lebih seakan
aku lebih baik dari pada dia. Padahal kinerja orang bersifat statis, tapi
sifat manusia sangat dinamis. Kalau mau pada level statis, mereka harus kerja keras
dalam menggapai tujuan.
Sarla
ingin menjadi polisi karena itu adalah jalan hidup yang ingin dia tuju.
Hidupnya sudah seperti karakter Naruto sejak dulu, di mana kalau Naruto menjadi
Hokage untuk menjadi ninja terkuat, maka dia harus gigih untuk menjadi polisi
yang hebat. Mereka tertawa mengejek, seakan mereka merasa bisa juga
menyelesaikan kasus yang sama. Sok oke, padahal mereka kalau di kasih tugas
berat banyak cincong.
“Huh,
kasus tentang mafia. Semua orang bisa menyelesaikannya kali” ujar mereka dengan
nada sewot
“Ia.
Apa yang perlu dibanggakan?” Kata mereka dengan nada mencemooh. Salah satu
diantara mereka bertiga ada yang tidak terima. Banu, ingin membalas ucapan
mereka. Namun ditahan oleh Sarla. Baginya, membalas orang-orang yang seperti
itu tidak ada gunanya. Buang-buang energi.Biarkan anjing menggonggong, kafilah
berlalu.
“Kalau
aku jadi mereka semuanya bakal selesai”
Banu
mencoba untuk menahannya. Tapi Sarla tetap mencegahnya. Jika laki-laki sudah
menghina sesamanya, maka mereka akan semakin menjadi untuk mencari celah
kesalahan orang yang mereka benci. Di skak matipun juga tidak akan membuahkan
hasil, lantaran lelaki ini beda dengan perempuan, ego alpa mereka dapat memuncak,
kekuatan akan harga dirinya masih dipegang.
“Kasus
mafia itu gampang nyelesainnya. Piece of cake”
Sarla
mendengarnya sedikit tertawa. Dia teringat kala pak Budi meminta mereka untuk
menyelesaikan kasus tentang mafia tanah ini. Tapi mereka lebih baik mundur
daripada bergadang menyelesaikan kasus sulit itu. Ia teringat mereka lebih baik
di tugaskan untuk menangkap perampok daripada menyelesaikan sengketa yang di
mana orang miskin ditindas karena tanahnya di jual secara ilegal. Inilah polisi
mental penjajah yang sedari dulu ia curigai bahwa mereka masuk ke dalam dunia
keamanan polisi berkat menggadai sawah, bukan karena kerja keras seperti
berlari dan berenang misalnya.
Sebagai
pemimpin kepolisian, pak Budi kesal dengan kesombongan yang dibalut rapi dengan
kedengkian. Pak Budi mendekati mereka. Ia kemudian mengajak dua orang yang dari
tadi hanya menghina saja dan besar mulut.
“Kalau
seandainya gampang, kenapa kemarin saya tawarkan anda semua untuk menyelesaikan
masalah ini kok pada mundur? Kenapa begitu banyak alasan? Tahukah anda, anda
telah menunjukan diri anda semua bahwa kalian sebenarnya memang pemalas.
Sudahlah! Jangan membual, merasa paling bisa meneyelsaikan kasus mafia. Sok ente”
Dengan
senyum mengejek, pak Budi membungkam mereka. Ia menepuk Pundak salah satu
polisi tersebut dengan ekspresi mencemooh. Mereka tidak bisa berkata apa-apa
lagi. Sarla hanya diam saja dari tadi, tersenyum geleng-geleng kepala melihat
atasannya. Dia adalah pe-roasting terhandal.
Mereka
bertiga bekerja dalam satu ruangan. Sarla duduk dikursi nya sambil membuka
komputer. Banu baru saja masuk sudah membereskan meja kerjanya. Banu ini
tipikal orang yang suka dengan kerapian. Ia tidak suka kalau mejanya itu berantakan
sedikit. Membuat ia jemu dan kusut. Kata
orang Padang samak hatinyo, atau rusuh bentuknya.
“Kamu
baru masuk udah berberes aja. Emang ya orang udah terbiasa rapi dari rumah,
emang ke bawa-bawa sampai keluar. Bagus sih” Heran Sarla sambil memujinya.
“Saya
lagi gak berberes meja”
“Terus?”
“Saya
mau mengambil sesuatu” ujar pria ini. Ia menunduk jongkok krasak-krusuk tidak
menentu. Sarla melihatnya sambil menunggu loading komputernya karena
baru saja di hidupkan.
Banu
menemukannya. Sebuah proposal yang di jilid spiral barusan ia terima kemarin.
Sebelum ia pulang ke rumah, ada seorang remaja yang memberikannya dengan wajah
yang begitu memprihatinkan. Proposal itu kemudian ia tunjukan kepada Sarla si
Madara kepolisian.
“Apa
ini?”
“Lihat
aja deh isinya” kata Banu menyarankan kawannya untuk membukannya. Lembaran
pertama pria itu melihat nama yang
tertera disana atas nama Attila Ruqayah. Pada halaman selanjutnya
isinya membuat dada Sarla kembang-kembing. Ini baru halaman pertama amarahnya
sudah mulai memuncak. Tapi ia tahan karena masih dikantor. Tidak mungkin karena
hal ini ia langsung memukul meja. Di
dalam proposal itu ada foto remaja yang matanya lebam sebelah, luka dibagian
perut, bahkan bibir mereka ada yang sobek. Ia merasa seperti melihat naskah film horror.
Sebab yang melakukannya adalah iblis yang berwujud manusia. Sarla yakin juga,
jika iblis melihat inipun pasti dia akan mengatakan bahwa dia lebih hebat
dariku, dengan memberi reward khusus.
Melihat
mereka berdua membaca sebuah laporan, pak Budi yang baru masuk heran dengan
mereka berdua. Apa yang dilihat asistennya ini? Ia ikut bergabung untuk
membacanya, alangkah kagetnya dia dengan apa yang tercantum di sana.
“Sudah
kamu laporkan ke pihak mentri Pendidikan?” Tanya Pak Budi.
“Sudah
pak.”
“Apa
tanggapannya?” tanya pak Budi.
“Ternyata
sebelumnya ada juga melaporkan hal yang sama pak. Besok katanya pak mentri akan
datang” ujar Banu
“Besok?”
“Ia
pak. Saya mengikuti saran bapak untuk memilih Sarla sebagai penyelidik kasus
ini” Ujar Banu. Baru saja ia ingin istirahat, ada tugas lagi.
Sarla
menyandarkan diri ke kursi yang ia duduki. Baru saja menikmati waktu istirahat,
ada kasus baru lagi. Tapi namanya polisi, ia harus menanggapi apa yang
dikeluhkan masyarakat. Jadi kurangilah istirahat.
“Saya
baru duduk loh Banu. Ada masalah baru lagi”
“Yah
gimana bung. Saya juga tidak bisa menangani kasus ini, sebab sebelum ini ada kasus lain yang harus saya tangani.
Yah, mencari tahu tentang kematian mahasiswa yang mayatnya terbuang di danau.
Dan itu saya terima sebelum kasus yang ini.”
“Hah, mau bagaimana lagi” Dengan wajah pasrah.
Hikaru
menaiki mobilnya. Pikirannya kini berfokus pada 2 tujuan. Sebenarnya pada
tujuan pertama, ia tidak perlu naik itu untuk menuju ke sana. Jarak cuman 3
meter kenapa harus naik mobil? Bukankah itu terlalu mencolok?.Namun, karena ada
keperluan lain setelahnya, Dia harus mendatangi kantor polisi terlebih
dahulu. Sebab ia penasaran laporan apa
yang diberikan Attila kepada pihak berwajib. Apakah benar-benar laporan yang
sama seperti yang ia serahkan kepada mentri Pendidikan?
Sejujurnya,
ia sudah tidak tahan dengan kelakuan murid disekolahnya. Perangai mereka sudah
sama seperti binatang ternak. Susah di atur. Jika ia memilih, lebih baik
mengurus domba daripada manusia. Atau beternak itik, karena mereka patuh kalau
di komando oleh tuannya. Ini kelakuan mereka lebih hina daripada binatang.
Sampailah
ia dikantor polisi. Ia masuk ke dalam arena lapangan kepolisian. Ia melihat
para aparat sedang berlari kecil mengelilingi lapangan dengan sorakan
kegembiraan. Ia memakirkan keretanya ke dalam lahan parkir yang masih kosong.
Disitulah ia memberhentikan kendaraannya. Ia matikan mesin mobil. Kemudian ia
keluar dengan kacamata hitamnya seperti wanita perlente yang sombong, lalu dia
menutup pintu mobil dan menguncinya.
Hikaru keluar, polisi yang sedang berlari
mengelilingi lapangan terpaku dengan sesosok wanita yang memakai pakaian serba
hitam dengan dalaman warna putih serta sepatu yang tingginya lebih kurang 6 cm heel-snya,
membuat langkah mereka terhenti. Ia membawa payung merah bemotif bunga edelweiss.
Dia cantik tapi auranya sangat dingin, ibarat kata orang yang suka melontarkan jokes,
kehadirannya menghadirkan musim salju, atau hujannya terlalu dingin. Ia
berjalan begitu anggun dan penuh dengan tatapan curiga. Sorot mata yang menarik
tapi menusuk kalbu di mana dapat memunculkan ketakutan.
Wanita
itu berjalan satu garis seperti pragawati. Misterius dan cara dia berjalan,
kelasnya seperti tidak dibuat-buat. Ia berjalan terus melewati koridor yang
biasa dilewati para aparat yang akan pergi keluar. Wanita itu tampak percaya
diri dengan pakaiannya. Ia tak peduli apa kata orang, yang penting dia datang
bukan untuk mendengar orang lain. Ia
datang untuk menemui polisi. Langkahnya langsung terhenti.
Ia
mendekati polisi tersebut.
“Bolehkah
saya bertanya? Kemana kita harus melaporkan sebuah kasus yang kita terima?”
Tanya Hikaru dengan nada dingin.
“Ah,
diruang 9-E, belok kanan bu” Jawab mereka dengan wajah yang amat takut.Ia
kemudian mengatupkan payungnya. Wanita itu seperti Koo Moo Young dalam drama
Korea tt’s okay don’t be ok! Karena dia memang terlihat memakai pakaian
super elite, layaknya wanita konglomerat. Bukan seperti wanita Indonesia yang
gemar memakai batik, kebaya atau pakaian tertutup yang lazim. Malah, dia
memakai pakaian dengan mode kontemporer ala eropa tahun 1800-an. Para petugas
kaget saat Hikaru sudah sampai di pintu masuk. Orang-orang menganggap bahwa
wanita ini datang sehabis mengikuti acara event cosplay. Tapi dia sedang
tidak melakukan hal itu. Ini adalah identitasnya yang harus dia tunjukan.
Setidaknya ia tidak datang dengan menampakan belahan dada yang dapat membuat
pria-pria dimuka bumi terangsang.
Di
dalam ruangan, Sarlata mencari beberapa informasi di internet, bahwasannya
sekolah yang mengalami kasus pembulian ini memiliki peringkat akreditasi
terburuk. Tak tanggung-tanggung beberapa siswanya sering mengikuti event tawuran
yang selalu menewaskan beberapa murid sekolah lainnya. Bahkan tingkat paling
parah mereka membawa celurit ke sekolah lain. Dia mengelus dan menghela
nafasnya. Anehnya, beberapa diantara mereka yang pernah menjadi tersangka
mereka diberi hukuman yang sangat ringan. Ini sangat ganjil.
Beberapa
situs warta-berita, menunjukan foto-foto yang di sidak dalam satu
tempat.Mengerikannya lagi, bahwa ada perempuan juga yang menjadi pesertanya. Ia
menggaruk-garuk dagunya sendiri, sambil berkata dalam hati bahwa aneh bin
ajaib. Apakah mereka merasa keren ketika melakukan hal ini? Atau mereka sedang
masa lagi lucu-lucnya?
Pintu
terbuka.
Seorang
perempuan memakai kostum seperti komik Jepang datang. Dress hitam putih
mengingatkan dia pada salah satu karakter dalam anime yang pernah ia
tonton bersama adiknya.
Pasti
wanita ini adalah orang kaya. Dia duduk berhadapan dengan Sarlata dengan
tatapan yang tidak bersahabat.Wanita berambut bob ini, menatap Sarlata
dengan intens. Sebenarnya ia merasa agak sedikit ngeri ditatap oleh
wanita seperti itu. Terkesan arogan tapi, entahlah ia tak boleh berburuk sangka
karena ini adalah pertemuan awal.
“Ada
yang bisa saya bantu?” Tanya Sarlata mencoba seramah mungkin. Tapi pertemuan
pertama saja, ia terkesan seperti ada jangkrik yang berisik ditengah kesunyian
malam. Perempuan itu melihat sekelilingnya. Ruangan yang tertata rapi dan
estetik untuk ukuran kantor polisi
“Perkenalkan
nama saya Hikaru” dengan suara berat khas wanita. Pelapor macam apa ini? Ia
berusaha untuk relax dalam mengintrogasi pelapor. Sebab, wanita ini sepertinya
memilki karakteristik yang unik.
“Ia
mbak Hikaru, ada apa? Ada yang bisa saya bantu?”
“Apakah
ada seorang gadis bernama Attila Ruqayah menyerahkan proposal berupa laporan
pembulian? Bolehkah saya melihatnya sebentar?”
“Anda
siapanya Attila?”
“Saya
tidak bisa memberitahukan identitas saya sebenarnya sebelum anda memperlihatkan
proposal tersebut”
Sarlata
mencoba diam sejenak. Tapi, untuk menunjukan dokumen tersebut ia tidak boleh
menunjukannya kepada sembarang orang. Sebab ini jatuhnya sudah rahasia negara.
“Jelaskan
dulu siapa diri anda sebenarnya. Saya tidak bisa menunjukan laporan korban,
sebab ini jatuhnya sudah rahasia negara”
“Saya
adalah gurunya Attila. Gadis itu mengalami pembulian barusan. Saya mengobati
lukanya, karena wajahnya hampir tidak berbentuk lagi” Dia berbicara sedatar-datarnya.
Sudahlah AC diruangan ini bersuhu tinggi, di tambah dengan kehadiran wanita ini,
dia seperti terjebak dalam freezer kulkas.
Mendengar
itu Sarlata langsung mengeluarkan proposal yang dikirimkan oleh Attila yang
pernah diberikan, kepada pihak kepolisian untuk ditunjukan kepada wanita itu.
Ia letakan diatas meja, lalu Hikaru langsung mengambilnya dan membacanya. Dari
mimik wajah Hikaru, Sarlata menilai bahwa wanita ini seakan menyimpan amarah
yang sangat besar. Cara ia menatap bukti yang tertera, bahwa gerak bibir wanita
itu menunjukan dirinya sudah merasa geram. Setelah, ia membacanya semua, Hikaru
mulai berbicara lagi.
“Saya
mendukung laporan ini. Isinya, tidak jauh beda dengan apa yang saya laporkan”
“Tidak
jauh beda dengan apa yang anda laporkan?”
“Yang
ada laporkan? Apa itu?” Sarla penasaran.
“Saya
melaporkannya ke dinas Pendidikan lain” kata Hikaru dengan begitu santainya.
Sarlata
seakan tidak bisa berkata apa-apa. Wanita ini terlihat sangat misterius. Dari
cara bicaranya, ia seakan muak dengan apa yang terjadi. Wanita itu,
mengeluarkan semacam kotak yang ia taruh dalam tasnya. Ia menunjukannya kepada
Sarlata. Sarlata mengambilnya. Banu berdiri disamping Sarlata dan langsung
membukanya. Sesudah di buka, sudah tercium bau yang tidak sedap dimana serasa
ia ingin muntah. Kapas itu berbau anyir, dan warnanya merah. Yah! Itu darah.
“Darah??”
Ujarnya kaget
“Ini
darah para korban yang selalu saya obati di UKS. Saya mohon pada anda,
tolonglah Attila dan teman-temannya”
Sarlata
kemudian mengerti. Kapasnya begitu bertumpuk ia taruh disamping mejanya. Lalu a
mengeluarkan semacam fomulir.
“Tulis
nama anda disini, biar nanti saya proses. Dan ini pulpennya”
Wanita
itu memiliki wajah yang amat datar. Kalau dilihat-lihat, aslinya wanita ini
sangat ceria. Tapi apa yang membuatnya seperti ini? Sekarang bukan waktunya
penasaran. Baru pertama kali bertemu sudah berani menganalisa diri seseorang.
Selesai mengisi fomulirnya, Hikaru menyerahkannya kepada Sarlata. Dalam
hatinya, wanita muda ini berharap sekolahnya berjalan selayaknya sekolah pada
umumnya. Di warnai oleh segudang prestasi bukan catatan criminal serta
kebahagiaan layaknya remaja lainnya.
Setelah
itu menunduk seperti orang Jepang yang mengharapkan bantuan.
“Saya
mohon bantuannya pak”
“Ah…
saya akan usahakan”
“Kalau
begitu saya permisi dulu”
Wanita
itu kemudian pergi meninggalkan kantor. Sementara, saat wanita itu akan keluar,
Banu masuk membawa surat lain. Tapi baru masuk saja dia melihat sosok perempuan
dengan aura yang amat gelap. Wajahnya tanpa ekspresi.
Kehadirannya
berlalu.
“Siapa
itu??”
“Guru
dari anak yang memberikan proposal ke kamu kemarin”
“Oh”
Hikaru
sebenarnya keluar dengan harapan yang kecil. Serasa ia tidak yakin bahwa
laporannya akan mendapatkan tanggapan dari dinas Pendidikan. Rasa pesimisnya
didalam raut wajah yang datar, sepertinya itu adalah hal yang mustahil.
Terlebih lagi, jika muridnya tahu, maka dirinya akan menjadi korban. Tapi, ia
tidak takut. Jika tidak ada opsi lain, maka pilihlah yang rasanya tepat.
Sementara,
para polisi menatap kehadirannya dengan wajah yang amat jengkel. Karena tidak
ada satu kasus-pun yang diserahkan kepada mereka, Lebih percaya kepada polisi
yang baru naik daun.
Didalam, Sarla melihat jati diri wanita itu. Namanya
sangat unik Matsudaira Hikaru Arlana. Nama yang sangat estetik sekali. Seperti,
pakaian yang dikenakannya.
Komentar
Posting Komentar