Semua orang menyalahkan Hayati. Bolehlah. Tapi patutkah dia disalahkan sepenuhnya? Sepertinya tidak. Karena Hayati dan Zainuddin adalah korban. Mereka adalah korban dari sebuah tradisi budaya. Mungkin yang baca blog gue, bakal berfikir ( Maina kok menghina budaya tempat tinggal sendiri)? Ups! Kita bedah satu-satu, mengapa gue mengatakan hal demikian.
Dalam tradisi Minangkabau, dikenal dengan semboyannya. Adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah. Artinya Minangkabau mengikuti syariat Islam, sebagai pondasi dalam kehidupan mereka. Tapi dalam film ini agak sedikit melenceng, yang salah satunya adalah peran mamak
Apa itu Mamak?
Dalam Minangkabau, ada istilah mamak. Mamak dan kemenakan. Mamak disini, adalah bukan ibu, yang diartikan pada umumnya dalam bahasa Indonesia. Melainkan paman. Paman dari pihak siapa? Mamak itu adalah kakak atau adik kandung laki-laki dari pihak ibu, yang menjadi paman bagi kemenakan perempuan.
Dalam adat Minangkabau, status mamak ini jauh lebih tinggi dibanding dengan ayah kandung. Keberadaan mereka harus dihormati, dan disanjung-sanjung. Mamak berperan penting dalam keluarga, apalagi dalam acara pernikahan atau acara-acara adat yang lain. Mereka harus bertindak dewasa, dalam mengayomi kemenakannya, terutama dalam hal budi pekerti untuk perempuan.
Di Minangkabau perempuan ini dihormati. Apalagi suku ini mengikuti garis keturunan ibu, dan ikut ibu atau matrilinear. Atau matriarki. Aku pernah bertanya kenapa bisa terjadi? Tapi kata ibu, anak ayam akan mengikuti ibunya
Tapi dalam film atau bukunya, Mamakny Hayati ini menyalahgunakan wewenangnya sebagai mamak, yang menggunakannya untuk kepentingan pribadi, dengan menikahkan Hayati dengan Aziz yang kaya raya. Dan anehnya dia menggunakan, memaksakan kehendak sebagai mamak, untuk menikahkan Hayati dengan seseorang. Padahal dalam Islam, peran paman tak terlalu penting banget.
Kalau memang bersyandi syarak, syarak bersandi kitabullah, seharusnya dia memposisikan dirinya sebagai saksi, dan tidak mempermasalahkan latarbelakang Zainuddin, yang berasal dari Makasar, asal dia seagama dan tak beda keyakinan.
Mari kita mempermasalahkan mengapa hubungan Hayati dan Zainuddin ditentang keras?
GARIS-GARIS SUKU DALAM MINANGKABAU.
Nah, mari kita bahas dari segi budaya. Zainuddin ini, adalah seorang pemuda yang ayahnya itu keturunan Minang dan ibunya adalah orang Sulawesi. Dalam hal kasus ini, bila kedua orangtuanya meninggal, dia tidak akan mendapatkan warisan apapun. Makanya Zainuddin pergi ke Batipuh, hanya membawa berbagai pakaian. Zainuddin tak mendapatkan warisan, karena warisan itu jatuh ke tangan perempuan.
Lain cerita kalau misalnya ibu Zainuddin orang Minang dan bapaknya orang Sulawesi, dia akan mendapatkan warisan keduanya.
Kita bawa dalam suatu kasus. Tapi sebelum itu kita perkenalkan apa suku di Minangkabau? Suku di Minangkabau itu tak seperti suku Jawa, Melayu, Batak tapi lebih ke Marga. Ada banyak Marga yang ada di Minangkabau.
Ada suku Jambak, Kutianyia,Sikumbang, Tanjuang,Supajang, Koto, Mandailiang, Pitopang, Panyalai, Piliang, Guci, Chaniago, Malayu, Kampai, Mandaliko, Domo, Dalimo dan masih banyak lagi.
Misalnya ibunya bersuku Koto dan bapaknya Lubis, maka Zainuddin dipastikan mendapatkan harta warisan keduanya. Dari ibu dapat, dan dari ayah juga dapat.
Kalau Zainuddin misalnya ibunya Koto, ayahnya Tanjuang, aku tidak tahu ya, tapi dia akan mengikuti garis keturunan ibu dan kapan dia akan pulang ka bako (pulang ke saudara bapak). Dia masih bisa dapat keduanya. Namun kalau misalnya kalau Zainuddin, punya saudara perempuan dalam ceritanya, maka harta warisan berupa pusako anduang-anduang, jatuh ditangan perempuan, dan dia jadi mamak (nanti aku coba cari lagi ya). Penengah dari adat istiadat, dan permasalahan sengketa tanah pusaka. Dalam kasus ini sering terjadi apabila tanah pusaka, telah dibatasi pohon tertentu yaitu sepadan.
Tapi kalau misalnya bapaknya Tanjung, dan ibunya Liohote, maka dia tidak mendapatkan apa-apa.Sehingga asal-usulnya tidak jelas jadinya.
Dalam ceritanya Zainuddin tidak mendapatkan keduanya, dan dia tidak tahu kemana dia akan mambako. Namun sebenarnya, status ini bukan penghalang bagi Zainuddin untuk bersama Hayati. Inilah yang mungkin dikritisi oleh Buya Hamka. Mulai dari peran mamak yang disalahgunakan, sampai memandang Zainuddin sebelah mata, hingga dia tak memiliki cintanya.
Apakah di sini Hayati salah? Jika ada yang mengatakan Zainuddin salah, berarti para lelaki tak menonton bagian ini.
"Cinta kami suci mak datuak" Hayati sebenarnya sudah berusaha menunjukan perasaan cinta itu. Tapi mamaknya sudah dibutakan oleh harta. Dia ingin Hayati mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Hayati sebenarnya sudah berusaha memperjuangkan cintanya, semampunya. Akan tetapi penyelewengan posisi mamak, yang membuat Hayati harus ikut dengan apa yang dikatakan oleh pamannya. Terlebih lagi, dia akan dicap durhaka.
Menyedihkan posisi mereka berdua. Selama ini, banyak yang menyalahkan posisi Hayati. Ada pula yang menyalahkan Zainuddin. Ingat, dalam film ini, korbannya ada dua orang Hayati dan Zainuddin, yang terpaksa mengakhiri hubungannya, lantaran ego sang mamak yang justru lebih ke mata duitan.
Dari kejadian ini Zainuddin bisa balas dendam dengan cara yang amat elegan. Namun sayangnya, cinta Zainuddin yang besar, meskipun Hayati sudah menikah harus karam lagi di lautan harga diri seorang laki-laki dari Zainuddin, tanpa mengetahui kebenaran dari Hayati, yang masih menjaga kesuciannya untuk Zainuddin, yang begitu besar cintanya. Bahkan dia dan Aziz tak sampai bersentuhan.
BAGAIMANA ORANG MINANG DALAM MEMPERLAKUKAN SUKU LAIN DI ERA MODERN SAAT INI?
Kalau dalam cerita KAPAL VAN DERWIJCK, keberadaan Zainuddin dianggap sebelah mata, kecuali sanak saudaranya bang Muluk dan mande jauhnya. Zainuddin yang belajar agama di nun jauh, wilayah Batipuh, dianggap sebelah mata karena tidak kaya dan statusnya tidak jelas asal-usulnya. Ini menyedihkan bagi Zainuddin. Lantaran, ia dianggap tetap orang Makassar meskipun ayahnya orang Minang. Dan Di Makassar, dia adalah orang Minang.
Tapi diera sekarang, kalau Ayahnya orang Minang istilahnya, dan ibunya orang Sunda, mereka akan ikut ayahnya lantaran di daratan Jawa mengikuti ayahnya.
Mereka sudah menerima suku lain, namun harus mencari tempat untuk mambako. Mereka harus sadar tempat kedudukan, dan tak boleh semena-semena terhadap apa yang dimiliki, oleh penduduk asli Minangkabau. Misalkan perkara tanah pusako atau tanah Pusaka.
Tanah Pusaka di Minangkabau beda dengan tanah warisan. Warisan niniak mamak, haram untuk dijual. Karena ini berlaku untuk anak cucu mereka kelak. Bisa terjadi sengketa berkepanjangan, atau perkara sampai melibatkan pemuka adat.
Jika misalnya, ada orang Jawa atau Kalimantan contohnya, yang ikut campur dalam urusan tanah pusaka orang lain, dia akan terancam diusir, atau dipandang sedikit rasis untuk menyadari standar kedudukan mereka.
Mereka orang Minang, akan menganggap orang diluar Minang seperti ini:
Wa'ang urang ma? Jan sok-sok an siko. Den usia ang ko lai.
Mereka akan terancam diusir.
Tapi kalau seandainya mereka tidak ikut campur, mereka akan disayangi layaknya tetangga pada umumnya. Sekaligus juga mereka akan disayangi.
Dulu, di rumah gue, ada kejadian yang seperti ini terjadi. Dimana gue punya parak Pusako atau Tanah Pusaka, yang dibatasi dengan pohon durian yang tinggi. Ada tetangga gue, yang kebetulan orang Jawa yang sok tahu dalam masalah tanah gue. Bahkan ada orang Sumando yang ikut campur.
Bagi yang tak tahu apa itu Sumando, Sumando adalah menantu yang tempat tinggalnya, jauh dari kediaman sanak saudara dari pihak istri atau Suami. Misalnya kaya gue, asli orang Pauh Kuraitaji Kota Pariaman. Suami gue misalnya, orang Kampuang Baru kota Pariaman. Kalau seandainya, dia tinggal diwilayah tempat tanah kelahiran istri di Pauh Kuraitaji, artinya status suami gue jatuhnya adalah orang Sumando.
Begitu juga dengan Sumando perempuan. Kalau dia tinggal ditanah kelahiran suami, artinya dia juga berstatus sebagai Sumando.
Dulu, orang Minang agak sulit menerima suku lain. Buktinya kita bisa melihat pembantaian yang terjadi di Kota Pariaman, yamg pusaranya masih ada. Tapi sekarang mereka legowo. Asal mereka mau mematuhi adat istiadat dari wilayah tempat mereka diami.
BAGAIMANA PERLAKUAN MAMAK DI ERA MODERN.
Di era sekarang ini, mereka tidak mempermasalahkan menantu asal dari mana. Asal dia seagama, dan dia taat beribadah. Mamak hanya berperan penting saat ini dalam membantu kemenakan dalam mencarikan jodoh. Nanti ayahnya yang terlibat juga. Setelah itu baru melangsungkan pernikahan. Bila ada mamak yang bertindak semena-mena, mereka tak akan segan tidak menghargai mamak tersebut.
Mamak diera modern lebih memberikan kebebasan asal kemenakannya bahagia. Asal mengikuti prosedur adat, dan saling memperkenalkan budaya mereka masing-masing. Jadi berbeda dengan dulu mungkin, karena perubahan zaman, apalagi di era globalisasi sekarang mereka harus menerima segala apa yang terjadi.
Kemenakan boleh mengambil pasangan dari wilayah manapun. Asal seiman, dan mau mengikuti adat yang berlaku. Seperti misalnya, malam bainai atau hal yang lainnya. Serta mematuhi posisinya dimana. Bukan bertindak semena-mena tidak menghormati budaya lain.
Perlakuan mamak di era modern, hampir sama dengan zaman dulu. Hanya sedikit perbedaannya. Yaitu memberikan kebebasan kepada kemenakan terhadap memilih calon pasangan. Dengan syarat, mamak harus bisa menjadi penengah bagi anak-anak serta kemenakannya. Jadi mamak ini, agak sedikit berat coy. Kalau mamaknya melakukan sesuatu yang buruk, maka wibawanya bisa hilang, dan ia tak akan pernah disegani.
Dia harus bisa memberikan contoh bagi kemenakan dan anak-anaknya. Serta menjadi contoh pula bagi masyarakat, agar mereka tahu ke mana kalau misalnya terjadi apa-apa pada suatu desa, yang mereka diami selama ini.
Segitu saja dulu.
Komentar
Posting Komentar